HAK ASUH ANAK YANG TIMBUL PASCA PECERAIAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PERADILAN ISLAM DI MASA RASULULLAH SAW

Authors

  • Jessy RA Indriati
  • Hisyam Asyiqin

Keywords:

Hak Asuh, Perceraian, Peradilan Islam, Rassulullah

Abstract

Hal ini seperti diatur dalam Pasal 41 Sub a Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.“bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata demi kepentingan anak, bila ada perselisihan mengenai penguasaa anak-anak, pengadilan memberi keputusannya”. Perselisihan akan muncul ketika para pihak yang terlibat dalam proses perceraian masing-masing merasa mampu untuk memenuhi kepentingan anaknya, satu sama lain tidak ada yang mau mengalah untuk mendapatkan pengasuhan anak dan menuding pihak lain tidak mampu untuk melaksankan pengasuhan tersebut. Padahal seharusnya kepentingan anak adalah yang utama dalam hak asuh anak itu sendiri. Hak Asuh anak seringkali menjadi permasalahan sebelum ataupun sesudah perceraian. Bahkan tidak jarang bila antar mantan suami dan mantan isteri, saling berebut mendapatkan hak asuh anak mereka. Seringkali dalam kenyataannya salah satu orang wali saja yang mendapatkan hak perwalian anak dan ternyata tidak dapat melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak lain yang tidak mendapatkan hak perwalian juga ternyata sangat melalaikan kewajibannya, sehinggga menyebabkan kepentingan dari si anak menjadi terabaikan dan penguasaan terhadap anak menjadi tidak jelas. 

Published

2022-12-15

How to Cite

Indriati, J. R., & Asyiqin, H. (2022). HAK ASUH ANAK YANG TIMBUL PASCA PECERAIAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PERADILAN ISLAM DI MASA RASULULLAH SAW. AL-IKHTISAR: The Renewal of Islamic Economic Law, 3(2), 15–23. Retrieved from https://jurnal.idaqu.ac.id/index.php/al-ikhtisar/article/view/316